Jakarta, 29 Juni 2025 — Indonesia masih menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan sampah plastik. Berdasarkan laporan World Bank dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Indonesia menempati posisi kelima sebagai penghasil sampah plastik terbesar di dunia pada periode 2021–2023. Total timbulan sampah plastik nasional diperkirakan mencapai 7,8 juta ton per tahun, dengan lebih dari 4,9 juta ton di antaranya belum terkelola dengan baik dan berpotensi mencemari lingkungan.
Fenomena ini berdampak signifikan, terutama karena sebagian besar sampah plastik akhirnya berakhir di lingkungan perairan. Sungai-sungai di kawasan permukiman padat dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang kurang tertata sering menjadi titik kebocoran plastik, yang kemudian terbawa aliran air menuju pesisir dan laut. Studi World Bank (2022) mencatat, sekitar 620 ribu ton plastik bocor ke lautan Indonesia setiap tahun, menjadikan Indonesia salah satu kontributor utama pencemaran plastik laut secara global.
Mengapa Sampah Plastik Sulit Terkelola? Ada beberapa faktor penyebab diantaranya rendahnya infrastruktur daur ulang di tingkat kabupaten/kota dan minimnya pemilahan sampah di sumbernya (rumah tangga dan kawasan komersial). Akibatnya, plastik sekali pakai (seperti kantong kresek, kemasan sachet, dan botol minuman) tetap mendominasi timbulan sampah, tetapi sangat sedikit yang berhasil dikumpulkan untuk proses daur ulang.
Dampak lain dari kebocoran sampah plastik adalah munculnya mikroplastik di rantai makanan laut. Penelitian Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan bahwa rata-rata warga Indonesia kini berpotensi menelan hingga 15 gram mikroplastik per bulan melalui air, ikan, dan garam laut yang terkontaminasi. Ini menimbulkan risiko kesehatan jangka panjang, mulai dari gangguan hormon hingga peradangan organ.
Sebagai bagian dari solusi, konsep ekonomi sirkular perlu segera diperluas. Prinsip ini menekankan agar plastik tidak hanya dipakai lalu dibuang, tetapi dipulihkan dan dipakai kembali dalam rantai nilai. Dengan pendekatan sirkular, plastik bernilai rendah pun tetap dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku baru melalui teknologi daur ulang atau upcycling.
Di sinilah peran aplikasi digital seperti Hijao menjadi krusial. Hijao terus berupaya mendukung edukasi pemilahan sampah di sumbernya. Dengan cara ini, plastik yang semula berisiko bocor ke lingkungan, dapat dimanfaatkan kembali, sehingga nilai ekonominya tidak hilang.
Pemerintah menargetkan pengurangan sampah plastik di laut hingga 70% pada tahun 2025, sesuai Rencana Aksi Nasional Penanganan Sampah Laut. Namun, target ini hanya dapat tercapai bila didukung kolaborasi semua pihak, baik pemerintah, swasta, akademisi, maupun masyarakat.
“Sampahku Tanggung Jawabku. Kita semua pemilik tanggung jawab bersama agar plastik tidak berakhir di laut,” tegas Hury CEO Hijao.
Mari bersama-sama mengubah perilaku, memilah sampah sejak dari rumah, dan memanfaatkan teknologi digital untuk memastikan plastik kita kembali ke sirkulasi, bukan ke lautan. Unduh aplikasi Hijao dan jadilah bagian dari solusi ekonomi sirkular di Indonesia.
Ditulis oleh Tim Media Hijao diolah dari berbagai sumber.